Hubungan keagenan dalam Organisasi Pemerintahan: Perspektif dari Agency Theory

Berdasarkan teori agensi, karakteristik utama hubungan keagenan terletak pada kontrak pelimpahan wewenang dan tanggungjawab dari prinsipal kepada agen. Pelimpahan ini menimbulkan pemisahan antara klaiman residu dengan otoritas pengambilan keputusan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan dapat terjadi pada semua entitas yang mengandalkan pada kontrak, baik eksplisit ataupun implisit, sebagai acuan pranata perilaku partisipan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungan keagenan terjadi pada setiap entitas

Kontrak dapat bersumber dari kebiasaan (Adnan, Chatterjee & Nankervis, 2003), kesamaan kepentingan untuk mencapai tujuan bersama (Shleifer & Vishny, 1986), dan ikatan hukum formal (Biondi, Canziani & Kirat, 2007). Dari sisi aturan formal, entitas pemerintahan dijalankan dengan mengacu pada seperangkat aturan yang menspesifikasikan tugas, wewenang, dan tanggungjawab setiap partisipan. Walaupun cara kerja dan mekanisme hubungan antar partispan dalam organisasi pemerintah berbeda dengan sektor korporasi, adanya ikatan formal tersebut menunjukkan adanya kontrak dalam organisasi pemerintahan di Indonesia. Hal ini memberikan justifikasi bahwa terdapat hubungan keagenan dalam organisasi pemerintahan di Indonesia.

Mengacu pada UU No 32 tahun 2004 sebagai rujukan kontrak formal, partisipan pada organisasi pemerintahan meliputi rakyat, lembaga bupati atau walikota, dan DPRD. UU tersebut menyatakan bahwa bupati dan walikota bertanggungjawab atas perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban program pemerintah. Selanjutnya, dinyatakan bahwa bupati dan walikota dipilih oleh rakyat. Mekanisme pemilihan ini merupakan pertanda adanya pelimpahan wewenang dari rakyat kepada bupatai dan walikota. Fakta adanya pemberian otoritas eksekutif dan pelimpahan wewenang kepada bupati dan walikota menunjukkan bahwa bupati dan walikota berperan sebagai agen dan rakyat merupakan prinsipal dalam rerangka hubungan keagenan.
DPRD dalam UU tersebut berperan sebagai mitra kerja bupati dan walikota yang berperan dalam fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi. Selanjutnya, dinyatakan bahwa anggota DPRD dipilih oleh rakyat secara langsung. Ketentuan ini menyiratkan bahwa DPRD merupakan representasi rakyat dalam struktur pengambilan keputusan formal oleh pemerintah daerah. Konstelasi berdasarkan peraturan perundangan tersebut menunjukkan bahwa DPRD mempunyai karakterisrik representatif yang bertugas melakukan monitoring. Oleh karena itu, DPRD dapat dianggap setara dengan board dalam governance berdasarkan konsep keagenan.